Sabtu, 31 Agustus 2013

Tgs

Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie atau yang lebih dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma (lahir di ManadoSulawesi Utara9 Maret 1911 – meninggal di Jakarta27 Agustus 1988 pada umur 77 tahun) adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Awalnya beliau bekerja sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM lalu bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI. Semula ia bertugas di Cilacap dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor.
Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di SingapuraUtoyo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval base yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku lalu PRRI/Permesta. Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.
Kesibukannya dalam perjuangan membuat beliau baru menikah pada usia 45 tahun, dengan Pdt. Margaretha Dharma Angkuw. Pada 30 Agustus 1966 John Lie mengganti namanya denganJahja Daniel Dharma.
Beliau meninggal dunia karena stroke pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan KalibataJakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya, beliau dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995Bintang Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November2009.

John Lie adalah sosok legendaris dalam organisasi penyelundup senjata yang terentang dari Filipina sampai India. Jaringan ini punya kantor rahasia di Manila, Singapura, Penang, Bangkok, Rangon dan New Delhi.

Untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang masih sangat muda, kepemilikan senjata api adalah hal mutlak. Bahkan dalam perjanjian gencatan senjata Agresi Militer Belanda I,  Perdana Menteri Hatta menegaskan bahwa gencatan senjata tidak termasuk impor dan ekspor senjata oleh Republik.

Belanda tetap memberlakukan blokade terhadap 
Indonesia dalam rangka menghalangi kemerdekaan bekas jajahannya. Menyiasatinya, senjata diperjualbelikan dengan menembus blokade Belanda itu. Dari sanalah karier penyelundup John Lie mencapai puncaknya. Meskipun Republik muda itu tak punya dana, Lie berhasil mendapatkan senjata dengan cara barter dengan hasil bumi.

Menurut buku “The Indonesian Revolution and The Singaporean Connection”, harga senjata bervariasi. Tahun 1948, penyelundup menjual dua karabin dan ribuan magasin dengan bayaran satu ton teh. Satu senapan mesin dan ribuan magasin dihargai 2,5 ton teh, enam ton teh bisa digunakan untuk membeli enam senjata anti pesawat udara beserta ribuan magasinnya.

John Lie adalah legenda. Menurut laporan majalah Life yang terbit pada 26 September 1949,  kapal Lie yang panjangnya 110 kaki (34 meter) selalu lolos dari patroli Belanda. Mengingat kapal itu tak dilengkapi senjata, meloloskan diri bukan perkara mudah. Kapal kerap dikejar sepanjang Selat Malaka, tak jarang dibombardir dengan peluru dan bom. Empat kapal lain yang sejenis telah dihancurkan Belanda.



Kapten Lie yang saat itu berusia 39 tahun, punya siasat. Kapal hitam dengan nomor registrasi PPB 58 LB itu disembunyikannya di teluk-teluk kecil sepanjang Sumatera dengan ditutupi dedaunan. Lie dan krunya lalu menunggu dalam diam hingga kapal dan pesawat Belanda menghentikan pencariannya.

Lie bergerak dengan bantuan belasan krunya, semuanya anak muda dengan usia rata-rata 21 tahun. Mereka bekerja tanpa dibayar demi patriotisme kepada Republik Indonesia. Mereka bolak -balik membeli senjata, dan menukarnya dengan hasil bumi, seperti teh, karet dan kopi.

John Lie adalah penganut Kristen yang taat. Dalam misinya dia selalu membawa dua Injil. Satu berbahasa Inggris dan satu Belanda. Meski demikian dia tak pilih-pilih; sering juga dia memasok senjata bagi para pejuang Muslim di 
Aceh.

Kepada wartawan majalah Life, Roy Rowan, Lie menyatakan sumpahnya "menjalankan kapal ini untuk Tuhan, 
negara dan kemanusiaan."  Cita-citanya hanya satu: mengubah Indonesia yang saat itu adalah hutan belantara, menjadi taman surga. Menurutnya, tugas mengubah Indonesia menjadi surga adalah takdir Tuhan untuknya.

Pada Desember 1966 Lie mengakhiri kariernya di TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. Sebelum itu, pada Agustus 1966 dia mengganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma. Lie meninggal karena sakit pada 27 Agustus 1988.

Tahun 2009, 21 tahun setelah kematiannya, John Lie dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Gelar pahlawan nasional pertama bagi pejuang keturunan 
Cina.
Antara kurun waktu 1947 hingga 1949, John Lie berhasil memasok sejumlah besar senjata, amunisi dan obat-obatan kepada para pejuang dan rakyat di Sumatera. Berkat keberaniannya tersebut, “The Outlaw” dijuluki Radio BBC Inggris sebagai “The Black Speedboat” karena kemampuannya beroperasi di malam hari tanpa penerangan dan tidak pernah tertangkap Belanda. Paling sedikitnya sebanyak 15 kali John Lie berhasil melakukan operasi menembus Blokade Belanda.
Semangat Patriotisme
“Siapakah orang pribumi dan non pribumi itu? Orang pribumi adalah orang–orang yang jelas–jelas membela kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan non pribumi adalah adalah mereka yang suka korupsi, suka pungli, suka memeras dan melakukan subversi. Mereka itu sama juga menusuk kita dari belakang. Pada hakikatnya mereka tidak mementingkan apalagi membela nasib bangsa kita. Mereka adalah pengkhianat–pengkhianat bangsa. Jadi soal pribumi dan non pribumi bukannya dilihat dari suku bangsa dan keturunan melainkan dari sudut pandang kepentingan siapa yang mereka bela.” Pendapat tersebut diungkapkan oleh seorang anak bangsa Laksamana Muda John Lie yang melalui Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966 dirubah namanya menjadi Jahja Daniel Dharma.
Jiwa nasionalismenya tumbuh seperti apa yang dikatakan Lie dalam majalah LIFE, 26 Oktober 1949:
“When I was a boy, Lie says, “I did wrong. The Lord told me to move on, and I went to the sea. I spent 15 years on Dutch sailing between Durban and Shanghai. But I saw Dutch did wrong, so once again I moved on. I went to the Holy Land. The Gold told me to go home and help make Indonesia a Garden of Eden.” It is this that keeps Lie shuttling back and forth on his dangerous voyage, running in arms and bringing out raw materials such as rubber to pay for them.
Selanjutnya Roy Rowan dalam majalah tersebut mengatakan:
His stand recalled the basic government, which begun shortly after the war ended in the Pacific, over whether the Dutch were imposing a trade restriction or a blockade againts Indonesia. Believeng the Dutch were trying to struggle Indonesian Independence, Lie begun his smuggling career. He prays that his country will some day be transformed from “wild jungle” into a “Garden of Eden”. But he declares vehemntly “there can be no Dutchmen in a Garden of Eden”.
John Lie berpikir, seandainya nanti Indonesia diserang siapa yang akan membela? Siapa lagi kalau bukan putra putrinya! Oleh karena itu beliau sempatkan belajar di Singapura untuk: belajar dari Royal Navy tentang pengamanan dan penyapuan ranjau, belajar taktik pertempuran laut dengan mengingat kembali Perang Dunia II yang meliputi: peranan dan tugas dalam logistic ship, taktik perang laut dimana beliau juga menanamkan pentingnya indonesia memiliki kapal–kapal yang bisa digunakan untuk bergerilya di lautan, serta belajar bergaul dan bersahabat dengan tujuan untuk mempertahankan kemerdekaan RI yang dapat menggugah semangat para pemuda untuk bersukarela berjuang melawan penjajah.
Penumpasan RMS
Menyikapi kegagalan misi perdamaian dan sikap membangkang yang ditunjukan oleh RMS, pemerintah memerintahkan untuk menumpas pemberontakan tersebut. Pada tanggal 1 Mei 1950 Menpangal R.Soebijakto memerintahkan kapal perang ALRI untuk melaksanakan blokade di perairan Ambon. Pelaksanaan blokade oleh kapal–kapal korvet RI Rajawali dengan Komandan Mayor (P) John Lie, RI Pati Unus dengan Komandan Kapten S.Gino, RI Hang Tuah dengan Komandan Mayor Simanjuntak. Pendaratan di P.Buru dilaksanakan tanggal 13 Juli 1950 dan ALRI mengerahkan kekuatan eskader-eskader ALRI di bawah Komando Mayor Pelaut John Lie, dilanjutkan dengan pendaratan di P.Seram dan P.Piru. Melalui tiga titik pendaratan ini yang dibantu dengan kekuatan gabungan TNI, pasukan RMS mulai terdesak, tetapi ada sebagian kota pesisir yang masih mereka kuasai.
Akhirnya pendaratan penyerbuan dilaksanakan melibatkan ketiga angkatan. Dari ALRI di bawah Komandan Mayor (P) John Lie, terdiri dari RI Rajawali, RI Hangtuah, RI Banteng, RI Patiunus, RI Namlea, RI Piru, RI Andhis, RI Anggang, RI Amahi, kapal rumah sakit, 10 LCVP, 3 buah LCM, 2 LST, 3 KM. Pada tanggal 15 November 1950, pembersihan dalam kota Ambon selesai.
Penumpasan DI/TII
Pemberontakan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pertama kali muncul di Jawa Barat pada tahun 1949 di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Namun kemudian pengaruh DI meluas hingga ke Aceh pada tahun 1950 dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh dan di Sulawesi Selatan pada tahun 1953 di bawah pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah menggelar operasi militer dan operasi pemulihan keamanan yang melibatkan seluruh elemen pertahanan terkait, termasuk ALRI yang menggelar operasi patroli pantai dipimpin oleh Mayor (P) John Lie.
Operasi penumpasan di Sulawesi adalah Operasi Tri Tunggal, Operasi Malino dan Operasi Jaya Sakti bulan Oktober 1955. Dalam operasi ini, ALRI melibatkan beberapa kapal perang, di antaranya RI Rajawali dan 1 kompi KKO AL serta didukung oleh sebuah kapal angkut milik jawatan pelayaran. Dalam Operasi Tri Tunggal, diadakan pendaratan di sekitar Sungai Wawo, Sulawesi Tenggara. Operasi keamanan di Malino dilaksanakan oleh Datasemen KKO AL untuk mengamankan jalan raya antara Makassar dengan Malino. Operasi Jaya Sakti bertujuan untuk melaksanakan patroli keamanan wilayah dan pembersihan sisa-sisa pengikut DI/TII oleh 1 kompi pasukan KKO AL.
Penumpasan PRRI / Permesta
Pemerintah menggelar operasi untuk menumpas Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia di Sumatera dan Perjuangan Semesta di Sulawesi tahun 1958 dengan Komandan Operasi Kolonel Ahmad Yani, Wadan I Letkol (P) John Lie, Wadan II Letkol (U) Wiriadinata. Pada dasarnya terdapat 3 kegiatan pokok operasi pendaratan untuk menumpas PRRI yaitu Operasi Tegas, Operasi 17 Agustus dan Operasi Kurusetra. Operasi Tegas merupakan operasi gabungan untuk merebut Riau Daratan. Dalam proses ini ALRI membentuk Amphibious Task Group-27 I (ATG-27 I). Unsur ALRI yang terlibat diantaranya RI Banteng, RI Sawega, 2 kapal baru selam, 3 Penyapu Ranjau serta 1 kompi KKO AL. Operasi 17 Agustus bertugas menghancurkan pemberontak di Sumatra Barat. Dalam Operasi ini ALRI membentuk Amphibious Task Force-17 (ATF-17) yang dipimpin Letkol (P) John Lie, dan melibatkan RI Gajah Mada, RI Banteng, RI Pati Unus, RI Cepu, RI Sawega dan RI Baumasepe, serta 1 Yon KKO AL. Kapal-kapal melakukan bombardemen sekitar Kota Padang dan kemudian mengadakan operasi pendaratan pasukan KKO AL. Operasi Kurusetra merupakan operasi pembersihan sisa-sisa pemberontak di Air Bangis, Sasak dan Pasaman. Untuk pendaratan di tempat tersebut, ALRI membentuk Amphibious Task Unit-42 (ATU-42). Unsur ALRI yang terlibat di antaranya RI Katula, RI Lajuru, RI Lapai dan 1 kompi KKO AL. Pasukan KKO AL berhasil menghancurkan basis pemberontak di sepanjang Air Bangis dan Pasaman. Operasi-operasi tersebut berhasil menghancurkan kekuatan moril dan militer PRRI.
Setelah Permesta 1958 – 1959, John Lie setahun berada di India dalam tugas belajar di Defence Service Staff College, Wellington South India. Tahun 1960, John Lie menjadi anggota DPR GR dari Angkatan Laut. Tahun 1960 – 1966 menjadi Kepala Inspektur Pengangkatan Kerangka – Kerangka Kapal di seluruh Indonesia. Sebelumnya, pada Tanggal 5 Oktober 1961, Presiden Soekarno menganugerahkan tanda jasa Pahlawan kepadanya.
Itulah John Lie, pejuang prajurit dan prajurit pejuang, yang walaupun hanya lulusan akademi revolusi fisik dan tak pernah menduduki bangku Akademi Angkatan Laut, Seskoal dan Lemhanas, namun telah berjasa amat besar bagi bangsa dan negara.
Kesimpulan
Semangat patriotisme John Lie yang sebelum masuk Angkatan Laut sudah berjuang menyelundupkan senjata untuk perjuangan bangsa membuatnya dijuluki “The Great Smuggler with Bible”.

John Lie adalah seorang nasionalis yang mencintai dan menempatkan negara dan bangsa di atas segala–galanya dan rela mengorbankan jiwa dan raganya dalam melawan blokade Belanda, penumpasan RMS & PRRI/Permesta. John Lie dikenal sebagai orang yang jujur, sederhana dan sangat memperhatikan kesejahteraan anak buahnya.

1 komentar: